Fajarbanten.co.id – Warga di sekitar Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bangkonol, Kecamatan Koroncong, Kabupaten Pandeglang, Banten, mengeluhkan kondisi lingkungan yang semakin memburuk akibat kiriman sampah dari luar daerah. Selain sampah dari Kabupaten Serang, TPA tersebut juga direncanakan akan menampung sampah dari Kota Tangerang Selatan.
Warga mengaku terganggu oleh bau menyengat yang muncul setiap hari serta serbuan lalat hijau yang semakin parah, terutama saat turun hujan.
“Setiap hari kami harus mencium bau busuk. Kalau habis hujan, baunya makin menyengat dan lalat semakin banyak,” ujar Een, warga Kampung Pasirwalet, Desa Bangkonol, Kecamatan Koroncong, Kamis 3 Juli 2025.
Een menyebut keluarganya hanya pernah menerima kompensasi sekali, yakni tahun lalu, dan itu pun hanya sebesar Rp25 ribu.
“Pernah dikasih satu kali, cuma Rp25 ribu, itu juga ayah saya yang terima,” ucapnya.
Ia menambahkan, janji pemberian kompensasi bulanan dari pihak terkait tidak pernah direalisasikan. Bahkan, kata Een, lapangan sepak bola yang berada dekat pemukiman warga kini ikut terdampak oleh keberadaan sampah.
“Itu lapangan sepak bola sudah seperti TPS juga. Katanya milik pemerintah, tapi letaknya persis di bawah lokasi pembuangan. Lama-lama bisa kena penyakit karena banyak lalat. Alergi mulai muncul di rumah,” tuturnya.
Een berharap pemerintah daerah tidak hanya fokus pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari kerja sama pengelolaan sampah, tetapi juga memperhatikan dampak lingkungan dan kesehatan warga sekitar.
“Pemerintah seharusnya tidak hanya fokus ke PAD dari kerja sama ini, tapi juga memperhatikan kondisi kami,” ujarnya.
Selain pencemaran udara, ia juga menyoroti buruknya infrastruktur di kawasan permukiman, seperti jalan rusak dan minimnya penerangan jalan umum (PJU).
“Kalau malam gelap banget karena enggak ada lampu jalan. Katanya peduli, tapi kenyataannya kami cuma kebagian baunya,” keluh Een.
Keluhan serupa disampaikan warga Kampung Mangku Bumi yang enggan disebutkan namanya. Ia menyatakan tidak pernah menerima uang kompensasi karena sejak awal menolak.
“Kalau kompensasi, saya mah enggak pernah nerima karena dari awal menolak. Buat apa nerima Rp25 ribu? Beli bakso semangkuk aja enggak cukup. Baunya setiap hari menyengat, lalat hijau juga makin banyak,” katanya.
Ia juga menyoroti penyaluran kompensasi yang dinilai tidak transparan dan dilakukan secara tertutup tanpa sosialisasi kepada warga.
““Itu pun yang dapat hanya sebagian orang saja. Kami yang protes malah tidak pernah dikasih. Kalau memang mau dikasih, minimal Rp2 juta per kepala keluarga, mungkin enggak bakal ada yang komplain,” pungkasnya. (Asep)