Oleh : Yemmelia
(Ketua Umum Banten Genius Network)
Premanisme adalah salah satu bentuk penyakit sosial yang tidak hanya meresahkan masyarakat, tetapi juga menggerogoti wibawa negara.
Di terminal, pasar, pelabuhan, hingga kawasan industri, bayang-bayang premanisme kerap menjadi momok yang menghambat aktivitas ekonomi dan menciptakan rasa takut di tengah masyarakat.
Tindakan tegas pemerintah bersama aparat kepolisian dalam beberapa tahun terakhir patut diapresiasi.
Operasi pemberantasan preman di berbagai daerah menunjukkan komitmen negara hadir melindungi rakyat dari intimidasi, pemerasan, dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tidak bertanggung jawab.
Namun, memberantas premanisme bukan sekadar soal penangkapan. Kita harus jujur mengakui, akar masalahnya sering kali terkait dengan kesenjangan sosial dan keterbatasan lapangan kerja.
Selama pintu-pintu kemiskinan masih terbuka lebar, potensi tumbuhnya bibit-bibit premanisme tetap ada.
Oleh sebab itu, upaya membasmi premanisme harus diiringi dengan pemberdayaan. Pemerintah perlu memperluas pelatihan keterampilan, membuka akses pekerjaan, dan memberikan alternatif kehidupan yang lebih baik, khususnya bagi generasi muda yang rentan terjerumus dalam lingkaran premanisme.
Di sisi lain, masyarakat juga harus berani bersuara, tidak takut melapor, dan tidak membiarkan ruang publik dikuasai oleh intimidasi sekelompok orang.
Premanisme bisa tumbuh subur justru ketika masyarakat memilih diam dan membiarkan ketakutan menjadi norma.
Premanisme adalah musuh bersama. Negara, aparat penegak hukum, tokoh masyarakat, dan warga harus berjalan seiring memberantas budaya kekerasan dan pemerasan yang membahayakan ketertiban umum. Indonesia adalah negeri hukum, bukan negeri kekuasaan preman.
Saatnya ruang publik kita bersih dari premanisme. Negara harus hadir, masyarakat harus berani, dan generasi muda harus diberdayakan. Dengan begitu, kita bukan hanya membasmi premanisme, tapi juga membangun Indonesia yang aman, tertib, dan berkeadilan.