Skema Pembayaran Royalti Berdasarkan UU Hak Cipta

oleh

Oleh : Andini Kusuma Putri SH., MH.*)

Konflik terbuka yang terjadi di kalangan musisi soal royalti hak cipta lagu menarik untuk dicermati. Bahkan Ahmad Dhani terlihat berseteru dengan Ariel Noah tentang mekanisme pembayaran royalti lagu antara sistem kolektif melalui LMKN dan skema Direct License.

Sebagai musisi, Ariel memilih membayar melalui LMKN (Lembaga Managemen Kolektif Nasional) karena lebih praktis dan tidak merepotkan. Sementara Ahmad Dhani sebaliknya, ingin royalti dibayarkan langsung ke pencipta (direct licence). Mencermati fenomena ini bagaimana undang-undang mengatur terkait rolayti dan bagaimana skema pembayarannya?

Hak Cipta dan Royalti Aturan tentang hak cipta dan royaltinya diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UUHC”) dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik (“PP 56/2021”).

Adapun tentang hak cipta, Pasal 1 ayat 20 UUHC menyebutkan: Lisensi adalah izin tertulis yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemilik Hak Terkait kepada pihak lain untuk melaksanakan hak ekonomi atas Ciptaannya atau produk Hak Terkait dengan syarat tertentu.

Pasal 9 ayat (2) UUHC menyebutkan: Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. Sementara tentang Royalti Pasal 1 ayat 21 UUHC menyebutkan: Royalti adalah imbalan atas pemanfaatan Hak Ekonomi suatu Ciptaan atau Produk Hak Terkait yang diterima oleh pencipta atau pemilik hak terkait.

Baca Juga  Program SERAMBI (Semarak Rupiah Ramadan dan Berkah Idul Fitri) Bank Indonesia Berhasil Meningkatkan Peredaran Uang Rupiah di Banten

Mekanisme pembayaran royalti dilakukan secara kolektif berdasarkan Pasal 1 ayat 22 UUHC menyebutkan : Lembaga Manajemen Kolektif adalah institusi yang berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait guna mengelola hak ekonominya dan Pasal 87 ayat 2 : Pengguna Hak Cipta dan Hak Terkait yang memanfaatkan Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membayar Royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait, melalui Lembaga Manajemen Kolektif.

LMKN; Kewenangan dan Kelemahannya?
Berdasarkan pasal 87 ayat 1 dan 2, kewenangan memungut royalti dilakukan dalam skema kolektif melalui sebuah badan yang bernama LMKN. LMKN adalah badan negara, namun bersifat Nirlaba yang anggaran operasionalnya tidak dibiaya oleh APBN. Adapun biaya operasional LMKN diambil dari royalti yang berhasil dikumpulkannya. Pasal 91 ayat (1) menjelaskan bahwa LMKN hanya dapat menggunakan dana operasional paling banyak 20% dari jumlah keseluruhan Royalti yang dikumpulkan setiap tahunnya.

Baca Juga  PWI Banten Sukseskan Program Jumat Serius

Berdasarkan pasal tersebut, pemungutan royalti hanya dapat dilakukan oleh LMKN dan tidak dapat menggunakan skema Direct License. Kewenangan monopoli untuk memungut royalti yang diberikan UU kepada LMKN sayangnya tidak didukung oleh kemampuan yang memadai khususnya soal anggaran. Anggaran operasional LMKN yang diambil dari royalti yang berhasil dikumpulkan sebesar 20% di tengah masih lemahnya penegakan hukum dibidang pelanggaran “hak cipta” membuat kemampuan LMKN mengkoleksi royalti menjadi sangat minim.
Hal inilah yang diduga menjadi pemicu ketidakpuasan para pencipta lagu yang diwakili oleh Ahmad Dhani karena dampak ketidakmampuan LMKN menarik royalti secara maksimal akan berdampak bagi kesejahteraan para pencipta. Namun juga langkah Ahmad Dhani melakukan upaya “direct license” bertentangan dengan UUHC itu sendiri.

Catatan: Haruskah UUHC di Revisi?
Berdasarkan uraian singkat di atas, izinkan penulis memberikan catatan: Pertama, karena kewenangan penuh untuk memungut royalti diberikan kepada LMKN maka kelembagaan LMKN harus diperkuat melalui alokasi yang definitif melalui anggaran APBN bukan diambil dari presentase keberhasilan memungut royalti.
Kedua, penguatan penegakan hukum pelanggaran hak cipta bukan hanya secara hukum perdata (bisnis) melainkan juga pidana dengan tujuan menciptakan efek jera bagi yang melanggar. Ketiga, perlu dipertimbangkan skema “direct license” bukan untuk memungut royalti melainkan sebagai mekanisme “pengawasan” dari pihak yang memiliki lisensi.

Baca Juga  Presiden KAI: Prabowo Subianto Bukan Penjelmaan Soeharto, Jarum Jam Indonesia Terus Berputar

Berdasarkan tiga poin tersebut UUHC perlu dipertimbangkan untuk direvisi dengan tujuan sebagai berikut;
Berdasarkan tiga poin tersebut UUHC perlu dipertimbangkan untuk direvisi dengan tujuan sebagai berikut; Pertama, memperkuat kelembagaan LMKN dari sisi operasional dengan mendapatkan anggaran operasional dari APBN. Tentu, anggaran tersebut dapat diambil dari pengenaan pajak atas royalti. Pendapatan pajak atas royalti dengan demikian dapat digunakan untuk operasional LMKN.
Kedua, meningkatkan pendapatan royalti bagi pemilik hak cipta karena royalti yang didapatkan akan sepenuhnya diterima oleh pemilik license. Ketiga, membuka celah lembaga lain memiliki kewenangan memungut royalti agar tercipta adanya persaingan usaha di bidang jasa pemungutan royalti.
*) Alumni Magister Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (UNDIP) & Junior Associate pada Kei & Co. Law Firm.