“Indonesia membutuhkan sosok rekonsiliator bangsa sebagai Presiden dan Wapres 2024-2029, bukan untuk diri dan golongan sendiri. Apalagi membawa isu identitas SARA, kenapa? Karena 2024 adalah tahun transisi Indonesia,” by dr Ali Mahsun ATMO, M. Biomed. Presiden KAI, Jakarta, Jumat, 15 Desember 2023.
JAKARTA – Ditengah ekskalasi politik Pilpres 2024 makin panas pasca Debat Capres I KPU RI 12 Desember 2023, spontan terngiang ke Perisai Garuda Pancasila. Disadari atau tidak reformasi sudah tua hampir 26 tahun (1998 – 2024). Sejak 1998 hingga saat ini dinamika dan gejolak politik tak pernah reda bahkan makin ekskalatif. Kondisi ini similiar dengan kondisi pada orde lama. Demikian dikatakan Presiden Kawulo Alit Indonesia (KAI) dr Ali Mahsun ATMO M Biomed.
Peta jalan Indonesia tergambar jelas dan gamblang dari makna mendasar simbolitas Perisai Garuda Pancasila karya Sultan Mahmud II (Pontianak) atas arahan Presiden Soekarno. Era Orla berlangsung 21 tahun (1945-1966) dengan simbol Kepala Banteng Warna Dasar Merah. Era Orba berlangsung 32 tahun (1966-1998) simbol Pohon Beringin Warna Dasar Putih. Saat ini, era reformasi atau kotak pandora, sudah tua berumur 26 tahun (1998-2024) simbol Rantai warna dasar merah. Pasca era reformasi tentunya Indonesia beralih ke era keadilan simbol Padi Kapas Warna Dasar Putih. Lantas kapan waktunya?, imbuh Ali Mahsun ATMO Cah Ndeso pinggir lor kali brantas pelosok kampung Mojokerto Jawa Timur dokter ahli kekebalan tubuh lulusan FKUB Malang dan FKUI Jakarta.
Di tahun 2024 ada apa Indonesia? Yang pasti ada Pilpres 14 Februari 2024. “Dan era reformasi lazim disebut era kotak pandora negeri, kenapa? Karena hal-hal yang tidak baik (kelam) di era orla, orba dan reformasi menjadi satu dan terbuka keseluruh relung kehidupan. Lebih dari itu, akhir-akhir ini banyak hal yang sulit dinalar pun terjadi. Sehingga 2024 seakan jadi petanda negeri ini segera akhiri era reformasi. Atau sebagai puncak kotak pandora negeri, dimana seluruh hal tak baik (kelam) terbuka sempurna diseluruh relung kehidupan dalam berbangsa dan bernegara. Juga petanda awalan peralihan ke era keadilan. Lantas bagaimana prosesnya?,” tambah lelaki sahaja yang juga Ketua Umum Komite Ekonomi Rakyat Indonesia (KERIS) dan Ketua Umum APKLI Perjuangan.
Tercatat dalam sejarah Indonesia, peralihan Orla ke Orba 19965-1966 dipenuhi dengan darah. Walau berskala lokal atau bukan sistemik, mayoritas terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun tak kurang 5 juta nyawa jadi korban.
Peralihan Orba ke Era Reformasi 1998 sekitar 1 juta nyawa melayang namun terdominasi di pusat-pusat pembelanjaan dan keramaian mayoritas jadi korban “pembakaran – kebakaran”, tutur PR V Universitas Darul ‘Ulum Jombang Jawa Timur 2010-2012.
Mengingat realitas di era reformasi similiar dengan Orla, maka kemungkinan besar proses peralihan pun tak jauh berbeda. Bahkan berskala sistemik. Jika tak terkendali, korban bisa jauh lebih besar dibanding 1965-1966. Ini harus dicegah dan tak boleh jadi kenyataan. Oleh karena itu, rekonsiliasi bangsa wajib diciptakan oleh segenap rakyat dan bangsa Indonesia. Harus jadi kewajiban dan tanggungjawab segenap elit politik dan para kontestan Pilpres 2024 beserta tim dan pendukungnya, pungkas Wakil Ketua Umum Bidang Politik DPP Barindo 2007-2012.***