Oleh Ahmad Yani
Tangerang bukan sekadar kota industri dan permukiman modern. Di balik gemerlap perkotaan, Tangerang menyimpan jejak sejarah sebagai wilayah pertahanan strategis Kesultanan Banten. Sejak abad ke-16 hingga ke-17, kawasan ini menjadi salah satu titik benteng pertahanan menghadapi ekspansi kolonial Eropa, khususnya VOC Belanda.
Pada masa Suthn Ageng Tirtayasa, Kesultanan Banten sebagai kerajaan maritim besar di Nusantara, kerap menghadapi ancaman dari bangsa asing. Jalur timur Kesultanan, yang kini dikenal sebagai Tangerang, menjadi wilayah kunci untuk memantau pergerakan musuh dari arah Batavia (Jakarta).
Di kawasan ini, dibangun pos-pos pertahanan, pengawasan di sepanjang Sungai Cisadane, hingga benteng-benteng kecil untuk menahan infiltrasi musuh. Sungai Cisadane kala itu berfungsi sebagai jalur transportasi, logistik, sekaligus rute serangan potensial ke pusat Banten di Serang.
Seiring waktu, kawasan Tangerang juga dikenal dengan istilah *”Benteng”*, bukan hanya karena keberadaan benteng fisik, tetapi karena masyarakatnya menjadi “benteng sosial” penyangga stabilitas wilayah. Komunitas Tionghoa yang bermukim sejak masa Kesultanan Banten hingga kolonialisme Belanda dikenal dengan sebutan Cina Benteng, yang berkontribusi besar dalam menjaga ketahanan ekonomi dan sosial kawasan ini.
Sementara itu, VOC Belanda juga membangun benteng pertahanan mereka di Tangerang sekitar abad ke-17 sebagai respon atas perlawanan Kesultanan Banten dan masyarakat setempat. Sisa-sisa struktur benteng memang tidak banyak yang tersisa, tetapi jejak sejarah itu masih terasa dalam cerita rakyat dan catatan sejarah.
Benteng Tangerang bukan hanya simbol pertahanan fisik, tetapi juga menjadi cerminan ketahanan budaya dan keberagaman yang diwariskan hingga sekarang. Tangerang menjadi contoh bagaimana perbatasan tidak hanya dijaga dengan senjata, tetapi juga dengan solidaritas dan kearifan masyarakatnya.
Tangerang adalah bagian dari mozaik sejarah Banten. Dari jalur Cisadane hingga benteng-benteng yang kini hanya tersisa dalam catatan, semua itu mengajarkan kita pentingnya menjaga sejarah sebagai benteng peradaban masa depan.