Fajarbanten.co.id – Program Susu Sekolah MBG sudah berjalan hampir setahun. Dengan segala tantangan dan dinamikanya, hal yang paling menjadi sorotan utama adalah persoalan logistik dan distribusi.
Hal ini menjadi penyebab beberapa masalah, termasuk susu yang rentan terhadap tumbuhnya mikroba sehingga terjadi isu keracunan makanan di program MBG.
Distribusi susu di Indonesia dalam mendukung program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang sebelumnya dikenal sebagai program makan siang gratis dan susu gratis, menghadapi berbagai tantangan signifikan, terutama terkait sifat susu sebagai produk yang mudah rusak pada kondisi geografis Indonesia yang tropis ini.
Kendala yang kerap dihadapi adalah masa simpan (shelf life) susu yang rentan terutama susu pasteurisasi sehingga membutuhkan rantai pasok pendingin (cold chain) yang ketat. Ditambah pula dengan infrastruktur yang buruk, listrik tidak stabil, sehingga menyebabkan biaya logistik tinggi, dan jauhnya lokasi sentra produksi ke sekolah..
Menurut Dewan Pakar BGN Prof. Epi Taufik dalam diskusi panel tentang Tantangan Distribusi Susu di Indonesia dalam Mendukung Susu Sekolah Program MBG di Kampus IPB University Bogor (27/11), kemasan aseptik sangat bisa menjadi solusi untuk penyediaan program susu sekolah pada program MBG. Bahkan menurutnya ini opsi paling realistis untuk skala nasional.
Karena, distribusi ke ribuan sekolah tanpa kulkas, pembiayaan logistik lebih rendah, risiko keamanan pangan rendah, volume besar mudah dikelola. Susu yang dikemas secara aseptik
memiliki masa simpan yang sangat panjang, biasanya antara 6 hingga 12 bulan, selama kemasan tidak dibuka atau rusak.
“Jadi apakah kemasan aseptik dapat mengatasi tantangan distribusi susu di Indonesia?
Jawabannya Ya. Ini adalah salah satu teknologi paling strategis untuk konteks Indonesiasebagai negara kepulauan yang besar. Karena dapat mengatasi (menurunkan) ketergantungan akan cold chain. Susu kemasan aseptik stabil di berbagai suhu ruang sehingga menjadi ideal untuk negara kepulauan seperti Indonesia. Kemudian higenis dan aman, mudah didistribusikan, dan umur simpan panjang. Memungkinkan pemerataan akses gizi ke wilayah 3T. Cocok untuk program pemerintah yang memerlukan suplai susu dalam jumlah besar,” ujar Prof. Epi Taufik.
Direktur Eksekutif Indonesian Packaging Federation (IPF), Henky Wibawa, menekankan bahwa kebutuhan akan kemasan pangan yang fungsional, aman, higienis, dan ramah lingkungan terus meningkat. “Tren konsumen yang semakin sadar kesehatan dan isu lingkungan mendorong industri untuk menghadirkan kemasan yang menjaga keamanan produk sekaligus mendukung misi praktik berkelanjutan,” jelasnya.
Dari sisi produsen susu, PT Frisian Flag Indonesia (FFI) menegaskan bahwa keberlanjutan kemasan menjadi faktor strategis dalam industri susu modern. Corporate Affairs Director FFI, Andrew Saputro, menyampaikan bahwa FFI telah melakukan workshop bersama LamiPak Indonesia untuk mengevaluasi opsi kemasan yang lebih rendah emisi karbon. (*/yogi)







