Mengatasi Bullying Menurut Syariat Islam

oleh

Oleh : Imaam Yakhsyallah Mansur

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara. Karena itu damaikanlah kedua saudaramu (yang bertikai) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu dirahmati. (10).

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan itu) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olok itu) lebih baik daripada perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela dan saling memanggil dengan julukan yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) fasik setelah beriman. Siapa yang tidak bertobat, mereka itulah orang-orang zalim. (11)

Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang. (12) (QS Al-Hujurat [49]: 10-12).

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah dan para ulama salaf lain menjelaskan bahwa ayat ke-10 turun untuk menegaskan ukhuwah (persaudaraan) antar sesama mukmin dan menganjurkan melakukan islah (perbaikan) antara pihak-pihak yang berselisih.

Sedangkan ayat ke-11 dan 12 secara khusus memperingatkan bahwa sikap buruk yaitu: mengolok-olok, mencela, memberi julukan buruk, berprasangka buruk, mencari-cari kesalahan, dan bergunjing. Itu semua adalah tindakan yang dapat merusak hubungan sosial.

Ayat di atas sebagai koreksi moral dan sosial atas sikap dan kebiasaan-kebiasaan buruk yang terjadi dalam pergaulan di masyarakat. Kemudian sifat buruk itu diganti dengan sifat dan kebiasaan baik yang membangun hubungan harmonis dalam pergaulan.

Pada ayat di atas, Allah Ta’ala menyebut salah satu tabiat buruk yang dapat merusak harmoni kehidupan bermasyarakat adalah mengolok-olok dan mencela. Dalam istilah modern, para psikolog menyebut hal itu dengan istilah bullying (perundungan).

Para pakar mendefinisikan bullying adalah tindakan agresif dan berulang-ulang yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang lebih kuat kepada yang lebih lemah untuk menyakiti, merendahkan atau mengintimidasi orang lain.

Tindakan itu dapat berupa kekerasan fisik, verbal (kata-kata), sosial (mengucilkan atau menyebar gosip/ghibah) dan cyberbullying (pelecehan di dunia maya).

Di era saat ini, para ulama kontemporer menegaskan relevansi ayat di atas juga mencakup larangan mengejek dan bergunjing di dunia maya (cyberbullying). Pakar tafsir modern seperti Prof Quraisy Shihab menyoroti bahwa “prasangka buruk” (ẓann) mencakup asumsi negatif tanpa bukti yang sering memicu bullying (perundungan) dalam ruang digital.

Baca Juga  Tukuh Kampung :Tradisi Tujuh Tahunan di Tanah Ulayat Baduy

Perundungan di Lembaga Pendidikan

Lembaga pendidikan merupakan tempat bagi para peserta didik untuk menimba ilmu, menumbuhkan bakat dan jiwa yang tangguh demi menyongsong kehidupan masa depan. Namun di beberapa tempat (tentu tidak semuanya) memperlihatkan bahwa bullying (perundungan) masih membayangi lingkungan pendidikan kita.

Komunikasi dan hubungan antar sesama peserta didik yang senior dan junior, atau antara guru dan murid sering kali menjadi sarananya. Bermula dari gurauan, ejekan ringan hingga berubah menjadi tindakan yang berujung pada perbuatan anarkis dan kriminal.

Menurut data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) dalam Asesmen Nasional 2022, sekitar 36,31 persen peserta didik di Indonesia berpotensi mengalami perundungan. Sementara Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat bahwa pada tahun 2023 tercatat 23 kasus bullying yang diakses publik, dengan 50 persen terjadi di jenjang SMP.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, setiap tahun selalu ada peningkatan kasus perundungan di sekolah. Banyak di antaranya terjadi dalam bentuk yang dianggap sepele seperti: julukan kasar, pengucilan, ejekan di grup kelas dan lainnya.

Lembaga itu mencatat 25 anak telah mengakhiri hidupnya (bunuh diri) sepanjang Januari hingga Oktober 2025. Mereka semua adalah pelajar yang diduga kuat korban bullying (perundungan).
Kombinasi data tersebut menunjukkan bahwa perundungan bukanlah fenomena marginal. Hal itu nyata hadir dalam ekosistem pendidikan.

Terbaru, insiden di SMA Negeri 72 Jakarta merupakan contoh nyata. Seorang siswa diduga kuat menjadi pelaku peledakan di masjid sekolah yang melukai puluhan siswa pada Jumat (7/11/2025). Menurut penuturan beberapa rekannya, terduga pelaku sering mendapat perundungan dari sesama siswa.

Selain di Jakarta, kasus serupa juga terjadi di negara-negara lain, antara lain kasus penembakan di sekolah Viertola, Finlandia (1/4/2025), penembakan oleh siswa di Munich, Jerman (22/6/2016), penembakan di sekolah Chardon, Ohio, AS (27/2/2012) dan lainnya.

Kasus tersebut mengungkap bahwa luka mental seorang siswa yang tidak tertangani di sekolah dapat meletus dalam bentuk kekerasan ekstrem. Ketika perasaan terhina, tersisih, dan tidak dihargai menumpuk tanpa saluran, empati dan bimbingan, jiwa remaja yang rapuh bisa berubah menjadi bara kemarahan yang mencari jalan keluarnya sendiri.

Baca Juga  Ancaman Banten Emas 2045 Akibat Generasi Brain Rot

Lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi ruang aman untuk tumbuh justru menjelma menjadi tempat penuh tekanan dan ketakutan. Dari sinilah akar tragedi sering bermula, bukan karena kebencian yang tiba-tiba, melainkan dari kesunyian panjang seorang anak yang merasa sendirian menghadapi dunia yang tak mengerti luka batinnya.

Sebuah penelitian di Cina yang dipublikasikan pada 2023-2025 berjudul School Bullying Results in Poor Psychological Conditions, menyimpulkan, bahwa pengalaman traumatis di sekolah (misalnya menjadi korban atau saksi bullying) dapat memicu kerentanan terhadap kecemasan, depresi, gangguan tidur, bahkan Gangguan Stres Pascatrauma (PTSD).

Dari perspektif pendidikan, penelitian di atas memperkuat argumen bahwa program anti-bullying tidak boleh mengandalkan hanya aturan administratif, tetapi juga harus dilakukan penanganan secara komprehensif, meliputi: deteksi dini, dukungan psikologis, pemulihan korban, rehabilitasi pelaku, literasi sosial dan digital.

Solusi dalam Syariat Islam

Surah Al-Hujurat ayat 10-12 di atas dapat dijadikan sebagai bahan renungan dalam mengatasi bullying di sekolah, yaitu dengan menghindarkan perilaku-perilaku buruk yaitu: mengolok-olok, mencela, memberi julukan buruk, berprasangka buruk, mencari-cari kesalahan, dan bergunjing.

Dengan semangat di atas, dapat ditanamkan kepada para peserta didik bahwa ikatan persaudaraan seorang mereka itu seperti saudara kandung, yakni dengan saling menolong ketika temannya dalam kesulitan, saling menasihati ketika ada yang salah, dan saling memaafkan ketika terjadi kesalahan.
Sementara dalam beberapa hadits, Rasulullah bersabda, yang artinya:

“Seorang Muslim adalah orang yang (kaum) Muslimin selamat dari gangguan lisan dan tangannya. Dan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.” (Muttafaqun alaih).

“Cukuplah seseorang dianggap berbuat jahat jika ia merendahkan saudaranya sesama Muslim. Setiap Muslim terhadap Muslim lainnya haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya.” (HR. Muslim).

“Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya, ia tidak menzaliminya, tidak membiarkannya (dalam kesulitan), dan tidak merendahkannya. Takwa itu di sini (Rasulullah menunjuk ke dada beliau). Cukuplah seseorang dianggap jahat bila ia merendahkan saudaranya sesama Muslim.” (HR. Muslim).

Ketika prinsip-prinsip dalam surah Al-Hujurat dan hadits-hadits di atas diterapkan secara konsisten, sekolah akan menjadi ruang yang menumbuhkan ilmu, adab, membangun karakter, keberanian dan empati kepada sesama.

Dalam prinsip Islam, interaksi dalam masyarakat itu ibarat satu tubuh. Apabila seseorang berbuat buruk kepada orang lain, sebenarnya ia telah berbuat buruk kepada dirinya sendiri.

Baca Juga  Masa Depan Umat Islam Indonesia Ditangan Bill Gates

Inilah yang diisyaratkan dalam kalimat “Walaa Talmizuu Anfusakum” (Janganlah kamu saling mencela). Ketika seseorang mencela orang lain, maka orang itu akan membalas celaan kepada dirinya atau dengan perbuatan buruk lainnya.

Lembaga pendidikan hendaknya menerapkan pembiasaan saling menghormati, menghargai pendapat orang lain, menyelesaikan konflik secara damai sesuai prinsip al-adlu wa al-ihsan, yaitu keadilan dan kebaikan ini bukan sekadar ajaran moral, tetapi merupakan pondasi dalam membentuk karakter peserta didik.

Guru hendaknya menanamkan sejak dini bahwa teman sekelas bukan pesaing, melainkan mitra dalam belajar. Pelajaran moral dan karakter hendaknya tidak berhenti di pemberian materi belajar, tetapi diterjemahkan dalam perilaku keseharian, bagaimana berbicara yang lembut, menghormati teman yang berbeda pendapat, dan menasihati tanpa merendahkan.

Ketika setiap siswa merasa dihargai dan didengarkan, potensi munculnya perundungan akan berkurang dengan sendirinya. Guru dan tenaga pendidik serta lingkungan berperan penting dalam menanamkan budaya empati, mengajarkan bagaimana meminta maaf dan memaafkan, serta menegakkan disiplin dengan kasih sayang.

Sistem restoratif hendknya juga diajarkan, di antaranua dengan belajar mengakui kesalahan, meminta maaf kepada rekan, mengiringi kesalahan dengan perbuatan baik dan perilaku positif lainnya. Hal tu dapat menanamkan kesadaran moral dan memperkuat ikatan sosial di lingkungan lembaga pendidikan.

Di sinilah urgensi Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) sebuah pendekatan pendidikan yang diluncurkan oleh Kementerian Agama (Kemenag) RI baru-baru ini. Kurikulum ini bertujuan membentuk karakter peserta didik melalui nilai-nilai cinta, kebersamaan dan tanggung jawab.
Pendapat kami, kurikulum tersebut merupakan implementasi dari tujuan pendidikan nasional yang terdapat dalam pasal 3 UU Pendidikan Nasional tahun 2003 yang berbunyi:

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Ilmu tanpa akhlak akan melahirkan generasi cerdas tapi buas. Namun ilmu yang dibimbing dengan iman akan melahirkan generasi rabbani (berketuhanan), dan berakhlak mulia.

Ibnu Qayim Al-Jauzi berkata, “Pendidikan anak harus dimulai dengan mengajarkannya adab sebelum ilmu. Karena adab adalah mahkota ilmu, dan orang yang berilmu tanpa adab seperti tubuh tanpa ruh.”

Penulids adalah Pembina Jaringan Pondok Pesantren Al-Fatah se-Indonesia.