Tiga Pelajar di Pandeglang Jadi Tersangka, DPR Minta Polisi Terapkan Restoratif Justice

oleh
Anggota Komisi X DPR RI, Adde Rosi Khoerunnisa, saat di wawancarai wartawan di Kecamatan Menes. Kamis 15 Mei 2025.

FAJARBANTEN.CO.ID- Kepolisian Resor (Polres) Pandeglang menetapkan tiga pelajar lulusan SMA sebagai tersangka setelah kedapatan membawa senjata tajam saat melakukan konvoi perayaan kelulusan. Ketiganya berinisial RS (16), YS (17), dan S, yang saat ini masih dalam pencarian dan telah masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).

Penetapan tersangka dilakukan setelah polisi mengamankan 47 pelajar dari tiga sekolah berbeda yang terlibat dalam konvoi kendaraan bermotor di jalan umum. Dalam konvoi tersebut, para pelajar diketahui mencorat-coret seragam sekolah dan membawa senjata tajam—tindakan yang dinilai membahayakan ketertiban umum serta melanggar hukum.

Ketiga pelajar tersebut dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang kepemilikan senjata tajam tanpa izin, yang ancamannya bisa mencapai hukuman penjara.

Menanggapi kasus ini, Anggota Komisi X DPR RI, Adde Rosi Khoerunnisa, menyampaikan keprihatinannya atas tindakan para pelajar tersebut. Ia menekankan bahwa momen kelulusan semestinya diisi dengan kegiatan positif, bukan dengan aksi yang berujung pada pelanggaran hukum.

Baca Juga  Relawan Prabowo-Gibran GBN dan GRBS Gelar Kopdar Di Villa taratai malingping lebak

“Perayaan kelulusan memang patut disyukuri, tetapi harus dilakukan dengan cara yang santun, tidak merusak fasilitas umum, mengintimidasi masyarakat, atau melanggar aturan hukum,” ujar Adde Rosi saat ditemui di Kecamatan Menes, Kamis 15 Mei 2025.

Adde Rosi juga menyoroti pentingnya peran lembaga pendidikan dalam membina siswa, terutama dalam hal membangun karakter dan kesadaran hukum sejak dini. Menurutnya, penguatan pendidikan karakter harus menjadi prioritas agar siswa tidak hanya unggul secara akademis, tetapi juga peka terhadap tanggung jawab sosial di lingkungan mereka.

“Saya rasa pihak sekolah perlu lebih tegas dan konsisten dalam memberikan pembinaan. Tapi ketika kejadian sudah terjadi, tentu peran keluarga dan aparat hukum sangat diperlukan untuk mengarahkan kembali anak-anak ini,” katanya.

Politisi Partai Golkar tersebut menekankan bahwa proses hukum harus mempertimbangkan usia dan masa depan anak. Oleh karena itu, ia mendorong agar aparat penegak hukum mengedepankan pendekatan restoratif justice atau keadilan restoratif.

Baca Juga  Putra Presiden Ajak Masyarakat Pandeglang Pilih Dewi-Iing di Pilkada Pandeglang

“Kalau pun proses hukum harus tetap berjalan, saya berharap pendekatan restoratif bisa digunakan. Mereka masih anak-anak, masa depan mereka masih panjang. Jangan sampai satu kesalahan di masa muda ini merusak seluruh hidup mereka,” tegasnya.

Adde Rosi juga meyakini bahwa tindakan para pelajar membawa senjata tajam kemungkinan besar dilakukan tanpa pemahaman yang matang. Dalam euforia kelulusan, emosi dan tindakan impulsif kerap mendominasi perilaku remaja.

“Mereka baru lulus dari SMA, belum masuk ke dunia kerja atau kampus, dan masih dalam proses pencarian jati diri. Sangat mungkin mereka belum sepenuhnya memahami risiko dari tindakan mereka,” tambahnya.

Saat disinggung pembinaan siswa ala militer seperti di beberapa wilayah, ia menyatakan bahwa pendekatan tersebut belum memiliki landasan hukum yang kuat. Meski demikian, ia tak menutup kemungkinan perlunya model pembinaan alternatif yang lebih terstruktur dan intensif.

“Secara undang-undang memang belum ada dasar hukum yang jelas untuk menerapkan pendidikan bergaya militer bagi siswa. Tapi tiap daerah bisa punya pendekatan masing-masing. Yang paling penting adalah pembinaan karakter anak, dan itu bermula dari keluarga,” katanya.

Baca Juga  Mahasiswa se-Yogyakarta Kawal Agenda Rakyat Pilpres Sekali Putaran

Ia menambahkan bahwa jika pola pengasuhan dalam keluarga sudah tidak lagi efektif, perlu dipikirkan solusi pendidikan lain yang lebih ketat dan terpantau penuh.

“Mungkin bisa lewat pendidikan kedinasan atau pendidikan berbasis asrama yang memungkinkan anak-anak ini diawasi dan dibimbing 24 jam. Tapi tentu ini perlu kesiapan dari berbagai aspek, termasuk kesiapan daerah,” jelasnya.

Lebih jauh, ia menegaskan bahwa meskipun negara memiliki tanggung jawab dalam pendidikan, peran utama tetap berada di tangan keluarga. Orang tua, menurutnya, adalah garda terdepan dalam membentuk karakter anak.

“Tidak semua provinsi punya sumber daya dan kemampuan yang sama untuk menerapkan sistem pendidikan disiplin. Tapi satu hal yang pasti, pendidikan paling utama itu adalah dari rumah. Keluarga adalah fondasi,” pungkasnya. (Asep)