“Tidak ada satu pun bukti secara ilmiah yang menunjukkan bahwa eksekusi mati akan menyumbang pada penyelesaian perkara,” kata Erasmus ketika menyampaikan paparan dalam webinar bertajuk Hukuman Mati Bagi Koruptor ‘Terimplementasikankah?’ yang disiarkan melalui platform Zoom Meeting dan dipantau dari Jakarta, Kamis (18/11/2021) dilansir beritasatu.com.
Berkaca pada negara-negara yang menempati posisi baik dalam penyelesaian tindak pidana korupsi, ujar dia lagi, konteks penyelesaian tindak pidana korupsi tidak hanya terkait dengan sekadar penegakan hukum, tetapi terdapat pencegahan dan penindakan yang harus konsisten.
Salah satu langkah untuk mencegah tindak pidana korupsi adalah dengan memperbaiki sistem pengawasan, baik internal maupun eksternal, sehingga melahirkan sistem pengawasan yang akuntabel, transparan, dan profesional.
Kemudian, pencegahan juga dapat dilakukan oleh pemerintah dan aparat penegak hukum dengan membuat indikator capaian perubahan kebijakan atau birokrasi guna mencegah pengulangan korupsi yang serupa di lingkungan atau konteks yang sama.
“Hukuman mati, di sisi lain, tidak memiliki hubungan secara langsung dengan penyelesaian kasus korupsi, secara khusus, dan keseluruhan kasus pidana, secara umum,” ujar dia seperti dikutip dari Antara.
Erasmus mengambil contoh penerapan hukuman mati pada tindak pidana narkotika. Pada tahun 2015, jumlah kejahatan terkait narkotika mencapai 36.874 kasus. Pada tahun tersebut, Indonesia menerapkan hukuman mati kepada delapan orang terpidana mati kasus narkotika di LP Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.
Akan tetapi, alih-alih menurun, pada tahun 2016 jumlah kasus justru meningkat menjadi 39.171 kasus. Pemerintah, pada tahun 2016, juga mengeksekusi mati empat pelaku kejahatan terkait narkotika.
Jumlah kasus sempat mengalami penurunan pada tahun 2017 menjadi 35.142 kasus, sebelum kembali meningkat pada tahun 2018 menjadi 39.588 kasus.(*/cr2)