Oleh : Abdul Munib
Dalam sebuah debat di ILC Rocky Gerung membantah utusan dari MUI yang mengatakan Ketuhanan yang maha Esa artinya setiap warga negara memeluk agama masing-masing oleh karena itu komunisme dilarang. Menurut Rocky konstitusi mengurus hak warga negara memeluk agama, dan tidak ada kewajiban beragama. Utusan MUI pun terdiam.
Begitulah kalau sesuatu tidak didudukan ke dalam hakikat yang sesungguhnya, sehingga apa dan bagaimana agama itu tidak difahami secara seksama terlebih dahulu. Pertama datangnya agama berurusan dan berurutan atas adanya entitas rasional (jin dan manusia). Agama tidak datang kepada hewan atau pepohonan. Walhasil hanya entitas rasional lah yang dianggap berpotensi untuk menerima pesan dari Tuhan yang maha Esa. Meski tidak semua entitas rasional memilih mengikuti pesan itu.
Kedua Tuhan sendiri lah yang membuat suatu game bahwa tak ada paksaan dalam memeluk agama. Artinya tindakan seseorang memeluk suatu agama selayaknya adalah berupa hasil kesadarannya sendiri dan pilihan merdekanya sendiri tanpa paksaan siapapun. Dan proses seseorang memeluk agama masuk dalam hal kehendak bebas atau freewill (Tasyri’iyah). Artinya Tuhan memberikan celah kemerdekaan bersyarat. Yang mana syarat itu sendiri berupa suatu siksa neraka sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pilihannya yang salah. Dan bagi yanh memilih kepada benar dijanjikan padanya pertemuan dengan-Nya. Semacam istilah lepas kepala pegang ekor.
Sementara binatang, pohon dan batu tidak memiliki kemerdekaan untuk bisa memilih jalan menuju mulia atau jalan menuju hina nestapa. Hidupnya seratus persen dalam determinasi paksakan hukum alam (Takwiniyah). Sedangkan manusia disamping memiliki sisi takwini berupa tubuh fisiknya, juga memiliki sisi preewill (tasyri:i) karena ada jiwa non-materi. Entitas jiwa insaniah inilah yang diseru oleh pesan wahyu Ilahi lewat nabinya, apakah jiwa itu menyambut seruan itu, atau malah lari menjauhi seruan risalah itu.
Ada ilustrasi mudah untuk memahami kedudukan agama. Yakni dengan simulasi surat-menyurat. Tuhan sendiri sebagai pengirim pesan (rasil), melalui seorang pembawa pesan (rasul), pesannya itu adalah berupa risalah (kitab suci), sedangkan alamat yang dituju adalah kita, jiwa rasional. Bagaimana kah sikap kita sebagai penerima pesan terhadap risalah tersebut ? Tentu ada yang menerima risalah itu secara ‘muhlisan lahu diin’, atau secara ikhlas dan sukarela tanpa keraguan. Ada juga yang menolaknya. Pendapat Rocky mengenai hak untuk memeluk agama dan hak untuk tidak memeluk agama sebagai sesuatu yang diberikan (given) dari Tuhan adalah pendapat yang tak bernilai.
Seakan-akan Tuhan mengatakan kamu boleh beragama dan boleh juga tidak beragama. Sehingga konklusinya beragama atau tak beragama keduanya boleh-boleh saja karena itu adalah hak. Tentu maksud Tuhan dan maksud konstitusi kita tidak seperti pemahaman Rocky di atas. Ujungnya berakhir jadi falasi.
Pesan yang dikirim dari Tuhan melalui rasulnya tentu bukan sesuatu yang tidak memiliki makna atau sekedar fiksi untuk memicu imajinasi manusia. Ini seperti pemahaman Rocky atas kitab suci. Risalah dan rasionalitas adalah dua sisi pada suatu koin yang tidak bisa dipisahkan. Lewat ilmu pengetahuanya manusia membangun jejak-jejak khazanah ilmu dalam pelbagai terminologinya sebagai alat untuk survive bersaing melawan alam yang perkasa.
Untuk memegang alat tadi secara adil (tidak menimbulkan kezaliman) manusia harus selesai dengan dirinya, sehingga layak menjadi pemegang alat. Disini agama berperan untuk menyiapkan manusia sebagai pemegang alat. Peradaban Barat yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi tapi manusianya belum layak memegang alat, ternyata telah menjadikan dunia ini dalam hegemoni antar umat manusia melalui penjajahan dan peperangan di mana-mana.
Memahami agama juga dapat dilakukan dengan sebuah kurva dari kata ‘Inna lilahi wa inna ilaihi rajiun’. Semuanya dari-Nya dan kembali pada-Nya. Kehidupan dunia yang kita jalani ini sebuah pemberian dari-Nya. Sekaligus juga kehidupan yang kita jalani ini sedang kembali pada-Nya. Dunia identik dengan makna rendah. Maksudnya kurva terbawah, ikut mengarungi ke-tercerai-berai-an alam materi. Ke-tercerai-berai-an yang di penggal ruang dan waktu.
Risalah atau pesan yang kemudian disebut agama adalah tentang bagaimana menemukan kata kunci untuk kembali pada-Nya secara layak.
Kata ‘tazkiyah an-nafs’, atau penyucian jiwa, sebagai panduan bagaimana perjalanan kembali itu punya password. Bahwa menanglah seseorang jika telah dapat mensucikan jiwanya. Jiwa adalah substansi masing-masing orang yang bergerak pada sebuah tanjakan menuju puncak kemuliaan jiwa, atau terperosok ke bawah pada kehinaan tabiat materil dan syahwat yang redup.
Tegak berdiri sebagai seorang pemenang, bagai tegak dalam shalat awal waktu dan diluar shalat tegak berdiri berjuang menolong sesama manusia yang tercampakkan, sebagai korban kezaliman para hegemoner. Beragama memiliki sisi privat dan sisi sosial yang keduanya tak dapat dipisahkan. Shalat seseorang dapat disebut wail (tak bermakna) jika motifnya atau niatnya pamer dan menolak memberi pertolongan. Sehingga memahami dan menghayati ketuhanan yang maha Esa, dalam hal ini perlu kenyelami hikmat kehidupan kita di arena sementara dunia ini baik dari sisi akhlak kita kepada Tuhan yang maha Esa (hablum minallah) dan akhlak kita terhadap sesama (sosial etis).
Persoalan peliknya adalah agama menjadi barang murah yang diperjual belikan untuk kepentingan meng-hegemoni manusia, politik, ekonomi dan lainnya. Padahal agama itu pesan dari Tuhan, untuk melengkapi akal yang juga pemberian Tuhan, yang dengan keduanya manusia diharapkan dapat hidup layak dimuka bumi dan layak di sisi Tuhan.
Sudah sejak dari era kitab Taurat, para pemegang kitab itu membelokkan tafsirnya untuk kepentingan murah. Begitu juga terjadi pada Injil dan Al-quran. Modus menggunakan agama untuk kepentingan nafsu manusia, sudah terjadi sejak dulu dilakukan oleh kaum munafik. Kitab Suci adalah risalah cinta dari Tuhan agar jiwa manusia berakhir mulia. Tidak sebaliknya ; berkesudahan dengan hina.
Demikianlah sketsa sekilas tentang agama untuk dapat terus memahami dan menghayatinya dengan seksama. Bahwa ia adalah sebuah hal yang sakral. Dan seluruh tafsir dari manusia tentang risalah, adalah pemahaman yang profan. Untuk itu hindari segala sesuatu yang berkutat seputar kontradiksi Agama Manusia yang profan, karena pada akhirnya manfaat beragama lah yang ditunggu oleh masyarakat banyak. Yang terverifikasi pada akhlak setiap kita semua.