Masa Depan Umat Islam Indonesia Ditangan Bill Gates

oleh
Benz Jono Hartono Praktisi Media Massa di Jakarta

Oleh1 : Benz Jono Hartono
Praktisi Media Massa

Di negeri yang masjidnya lebih banyak dari perpustakaan, dan status WhatsApp penuh kutipan hadits tapi lupa konteks, datanglah kabar yang mengguncang jagat maya dan jagat majelis, Bill Gates, sang nabi teknologi dan dewa filantropi dunia modern, mendonasikan uang trilyunan rupiah untuk uji coba vaksin TBC, khususnya kepada umat Islam di Indonesia.
Seketika, umat terbelah. Satu pihak berteriak takbir, menyambutnya sebagai rahmat Tuhan dalam bentuk suntikan. Pihak lain menyempitkan dahi, mengaitkan vaksin dengan chip, Dajjal, dan rencana global elite yang entah mengapa selalu tertarik pada rakyat dari kampung-kampung diseluruh Indonesia.

Dari Kitab Kuning ke Buku Panduan Vaksin
Sejak donasi itu diumumkan, negeri ini memasuki fase baru, Era Suntikologi. Pesantren-pesantren mulai membuka jurusan baru, Fiqih Medis Modern, dengan mata kuliah wajib “Hadits-hadits tentang Jarum Suntik dan Interpretasinya.” MUI pun menggelar sidang maraton, “Apakah TBC termasuk takdir atau bisa disuntikkan ke surga?” Sebagian ulama progresif mendukung, “Nabi menyuruh kita berobat. Kalau Gates mau bantu, kita sambut.” Ulama konservatif lebih curiga: “Apa niatnya? Kenapa umat Islam? Kenapa bukan umat pinggiran Beverly Hills?”

Generasi Masa Depan Muslim
di tengah riuh-rendah kecurigaan, ada perubahan diam-diam. Anak-anak muda Muslim, yang dulu lebih tertarik pada TikTok dakwah dan kopi susu syar’i, mulai akrab dengan kata “tuberkulosis” dan “uji klinis.” Beberapa bahkan mendaftar sebagai relawan uji coba, bukan karena iman, tapi karena dapat uang transport dan makan siang gratis.
Mereka ini, generasi vaksin literate muslim, bisa jadi tumpuan masa depan. Mereka yang percaya bahwa menjaga kesehatan adalah bagian dari keimanan, dan bahwa sains bukan musuh Islam, melainkan alat Tuhan yang belum sempat dijelaskan Nabi karena waktu itu belum ada mikroskop.

Antara Bill Gates dan Bilal bin Rabah
Apakah umat Islam Indonesia sedang dijadikan kelinci percobaan oleh Barat? Mungkin. Tapi bisa juga kita sedang diuji, bukan dengan jarum suntik, melainkan dengan kemampuan berpikir jernih, memilah informasi, dan memahami bahwa jihad hari ini bisa jadi bentuknya adalah ikut vaksin, bukan ikut demo bakar ban.
Karena pada akhirnya, masa depan umat tidak ditentukan oleh Gates, WHO, atau CIA, tapi oleh sejauh mana kita bisa bersatu antara ilmu dan iman. Antara masjid dan laboratorium. Antara Bilal bin Rabah dan Bill Gates.

Umat Islam Indonesia Disuntik atau Disuntikkan
Kabar bahwa Bill Gates menyumbang triliunan rupiah untuk uji coba vaksin TBC kepada umat Islam Indonesia tampaknya lebih mengguncang daripada khutbah Jumat yang durasinya lewat batas waktu.

Tiba-tiba semua orang jadi ahli imunologi dan teolog sekaligus, dari tukang parkir hingga ustad YouTube.
Pertanyaannya sederhana, kenapa umat Islam?

Apakah karena kita umat mayoritas? Atau karena kita dianggap mayoritas yang paling mudah disuntik secara harfiah maupun wacana?

Ada yang bilang, “Ini bentuk perhatian.” Ada pula yang curiga, “Ini cara halus kolonialisasi gaya baru.”

Sementara itu, sebagian umat malah sibuk debat, apakah vaksin ini halal, haram, atau hanya bid’ah muamalah bertaraf nano chip?

Di satu sisi, kita ingin jadi bangsa maju. Di sisi lain, kita curiga pada semua bentuk kemajuan, apalagi yang datang dari barat dan berbentuk jarum. Ironi terbesar adalah, kita takut vaksin bisa mengendalikan pikiran, padahal pikiran kita sudah lebih dulu dikendalikan oleh hoaks, broadcast WA, dan selebritis agamis yang bawaannya nyuruh takut terus.

Penutup
Akhirnya, masa depan umat Islam Indonesia bukan ditentukan oleh vaksin, tapi oleh kemampuan kita memilih mana yang benar, pengetahuan atau prasangka. Karena sejauh ini, virus TBC bisa diobati, tapi virus kebodohan yang dibungkus dalil? Masih endemik, bahkan lebih menular.
Mau disuntik atau disuntikkan, terserah. Yang jelas, Allah SWT sudah memberi akal. Dipakai, atau mau didonasikan juga ke Bill Gates?

Benz Jono Hartono
Praktisi Media Massa di Jakarta.