FAJARBANTEN.CO.ID – Advokat pada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pengacara Rakyat Silvy Shofawi Haiz, Evi Silvi Yuniatul Hayati telah menjalani sidang kode etik pada organisasi advokat yang menaungi yakni Kongres Advokat Indonesia (KAI) pada Senin, 8 Januari 2024.
Dalam sidang etik yang digelar oleh Dewan Kehormatan DPP KAI melalui Majelis Kehormatan Advokat (ad hoc) KAI tersebut, Evi Silvi diputuskan dan dinyatakan tidak melakukan pelanggaran etik dalam menjalani profesinya sebagai seorang advokat.
Bahkan dalam sidang etik tersebut, Ketua Hakim Majelis Kehormatan KAI, Ibrani Dt Rajo Tianso mengatakan, pihaknya menemukan adanya dugaan kriminalisasi terhadap pengacara Evi Silvi yang tengah menjalankan tugasnya sebagai advokat.
“Majelis juga menemukan ternyata betul terjadi kriminalisasi terhadap yang bersangkutan (Evi Silvi) sebagai advokat,” kata Ibrani yang memimpin sidang etik Majelis Kehormatan KAI.
Evi Silvi sendiri diketahui sempat terjerat perkara hukum berkaitan dengan tugasnya sebagai seorang advokat yang mendapatkan kuasa atas perkara yang dihadapi kliennya.
Atas perkara yang menjeratnya tersebut, melalui putusan Pengadilan Negeri Serang tertanggal 16 Mei 2023, Evi Silvi diadili telah melakukan tindak pidana penipuan dengan pidana penjara selama 4 bulan.
Padahal, diketahui dalam proses persidangan yang menjerat Evi Silvi tersebut, salah seorang ahli yang hadir untuk memberikan keterangan yakni Dr Agus, telah memberikan pernyataan untuk menempuh jalur sesuai dengan ketentuan UU yang berlaku.
Terlebih, jika menyangkut dengan profesi seorang Advokat yang telah diatur dalam UU 18 tahun 2003 tentang Advokat, jika hal tersebut tidak dijalankan, maka keputusan dalam persidangan akan dinilai cacat hukum.
Menanggapi kejadian tersebut, salah seorang advokat yang juga akademisi hukum, Rahmatulloh, menilai adanya dugaan kriminalisasi pada profesi advokat.
Rahmatulloh mengatakan, dirinya telah membaca dan mengamati terkait perkara yang menjerat Evi Silvi yang merupakan rekan seprofesinya sebagai advokat.
“Saya melihat konstruksi hukum yang terjadi pada perkara tersebut. Ini ada perbuatan hukum tapi bukan pidana, tapi perdata, yaitu adanya suatu konsensus antara seorang lawyer atau advokat dengan kliennya, dengan ditandai adanya surat kuasa. Selain surat kuasa, dibuat juga namanya dengan surat perjanjian jasa hukum, disini sudah tertera jelas bahwa surat kuasanya ada, perjanjian jasa hukumnya ada, karena disitu ada beberapa poin dalam surat perjanjian jasa hukum itu,” kata Rahmatulloh, Rabu (10/1/2023).
Rahmatulloh yang juga merupakan dosen ilmu hukum dibeberapa sekolah tinggi di Banten itu menuturkan, pada perkara tersebut, jelas Evi Silvi tengah menjalankan tugasnya sebagai seorang advokat pada sebuah perkara yang tengah dihadapi oleh klien yang telah memberikan surat kuasa.
Untuk itu, Rahmatullah sependapat dengan keputusan Majelis Kehormatan KAI yang menyatakan rekannya Evi Silvi tidak melakukan pelanggaran etik.
Selain itu, Rahmatulloh juga sependapat dengan dugaan adanya kriminalisasi terhadap advokat yang tengah menjalankan provesinya sebagai pengacara sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.
“Apa yang disampaikan oleh Majelis Kehormatan (KAI) yaitu ada kriminalisasi, saya sangat setuju sekali, karena memang seorang lawyer dalam melakukan perkaranya, dalam menerima kuasa itu, ada di Undang-undang (Advokat) itu di Pasal 16. Advokat itu ada hak imunitas, hak imunitas itu seorang Advokat atau seorang Lawyer tidak dapat dipidana ataupun digugat secara perdata apabila sedang menjalankan tugas profesinya dengan baik dan untuk pembelaan kepada kliennya,” ujarnya.
Rahmatulloh yang diketahui saat ini tengah mengejar gelar doktor ilmu hukum di Universitas Borobudur itu juga menjelaskan, jika ada perkara hukum yang menjerat seorang advokat dalam menjalankan profesinya, sudah sepatutnya perkara itu dibawa terlebih dahulu ke sidang etik untuk mendapatkan rekomendasi dari organisasi advokat sesuai dengan ketentuan dalam UU Advokat.
“Jadi, itu tidak bisa langsung dilakukan pidana, maka harus diajukan dulu, laporkan dulu ke dewan kehormatan advokat. Apabila ada pelanggaran-pelanggaran kode etik, maka di proses dulu pelanggaran kode etiknya,” jelasnya.
“Kecuali, jika seorang lawyer itu dengan itikad tidak baik, seperti menghalang-halangi proses penyelidikan dan penyidikan dan lain sebagainya yang bertentangan dengan undang-undang, maka bisa tanpa harus ke kode etik kita bisa langsung dilakukan tindakan pidana, karena disitu jelas diatur juga,” tuturnya.
Selain itu, diketahui saat ini Evi Silvi juga tengah menghadapi perkara baru dengan adanya Putusan Kasasi Mahkamah Agung (MA) RI terkait putusan Pengadilan Negeri Serang.
Padahal, Evi Silvi sendiri diketahui telah menjalani hukuman penjara selama 4 bulan sejak putusan Pengadilan Negeri Serang tertanggal 16 Mei 2023.
Menanggapi hal itu, Rahmatulloh mengatakan, putusan dari sidang etik pada organsasi advokat yang menaungi Evi Silvi yakni KAI, dapat dijadikan alat bukti baru untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas Putusan Kasasi MA tersebut.
“Karena putusan dari Mahkamah Agung sudah turun, maka untuk mengajukan PK harus ada bukti baru, seperti novum yang seperti sekarang didapatkan, ada bukti baru bahwa rekan kita ini tidak melanggar kode etik, bahkan menjalankan tugasnya sebagai lawyer dengan itikad baik,” ujarnya.
Tak hanya itu, Rahmatulloh juga menilai, ada beberapa kekeliruan pada amar Putusan Kasasi MA terkait dengan perkara yang menjerat rekannya.
“Ada kekhilafan hakim dalam melakukan atau memberikan putusan, saya juga sudah baca petikannya dari putusan MA tadi. Kita tidak mengomentari putusannya, cuma kita membaca putusan itu kenapa ada kesalahan dalam hal ini kurang cermat,” ucapnya.
“Kurang cermatnya, apa yang menjalankan penuntutan dalam proses persidangan adalah Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Serang, tetapi di Mahkamah Agung mengkoreksinya putusan Kejaksaan Negeri Cilegon, ini yang tidak pas, yang tidak sinkron dengan apa yang proses hukum yang sedang berjalan. Jadi ada kesalahan, ketidak cermatan, atau kekhilafan hakim dalam memberikan putusan. Lalu siapa nanti yang mengeksekusi? Makanya putusan itu bisa dikatakan tidak bisa di eksekusi karena ada kesalahan kewenangan tadi. Itu konstruksi hukum yang sesuai dengan hukum acara di Indonesia,” pungkasnya. (*)