Tak Mampu Bayar SPP Rp 42 Juta, Siswa SD di Pandeglang Dipulangkan Paksa

oleh

Fajarbanten.co.id – Tiga kakak beradik Sekolah Dasar (SD) harus menerima kenyataan pahit setelah dipulangkan paksa oleh pihak sekolah hanya karena orang tua tidak mampu membayar tunggakan SPP sebesar Rp 42 juta.

Ketiga siswa tersebut yakni, Faeza (11), Farraz (10), dan Fathan (7), bersekolah di Yayasan Islamic Centre Herwansyah (ICH) Pandeglang. Mereka dikenal memiliki prestasi dan semangat tinggi dalam belajar.

Mirisnya, pihak sekolah melakukan pemulangan saat siswa dalam kondisi belajar didalam kelas. Padahal, ketiga siswa tersebut tidak memiliki kesalahan apapun, hanya situasi finansial keluarga membuat pembayaran SPP tertunda.

Saat dikonfirmasi, orang tua dari tiga siswa SD di Pandeglang yang dipulangkan paksa oleh pihak sekolah, Muhammad Fahat, mengungkapkan rasa kecewanya. Ketiga anaknya dinonaktifkan oleh pihak sekolah dan dipulangkan ke rumah menggunakan kendaraan sekolah saat masih di tengah waktu belajar.

“Saya mencari keadilan agar anak-anak saya bisa kembali bersekolah dan mendapatkan hak mereka untuk belajar. Kasihan mereka,” kata Fahat kepala wartawan, Senin 28 Okober 2024.

Fahat merasa cemas melihat ketiga anaknya kini tak bisa melanjutkan pendidikan, terlebih menjelang ujian. Ia menjelaskan bahwa satu dari anaknya kini duduk di kelas 6 dan tengah mempersiapkan ujian nasional.

“Satu anak saya kelas 6, saya jadi kepikiran kasihan karena mau ujian nasional, tapi sekarang tak bisa. Mental anak-anak juga jadi terganggu,” ungkapnya.

Menurut Fahat, sejak surat pemberhentian keluar pada 15 April 2024, ia tetap berusaha agar anak-anaknya bisa bersekolah. Namun, pada 22 April 2024, mereka akhirnya dipulangkan paksa oleh pihak sekolah.

“Setelah surat itu keluar, anak-anak tetap berangkat ke sekolah, berharap ada kebijakan dari sekolah. Tapi ternyata, setelah libur sekolah mereka dipulangkan lagi,” jelasnya.

Fahat juga menambahkan bahwa pemulangan dilakukan oleh dua guru dan seorang staf kesiswaan, yang membawa ketiga anaknya pulang dengan mobil sekolah, seperti terlihat dalam video yang beredar di media sosial.

“Itu diantar sama dua orang guru dan satu kesiswaan, diantar pake mobil sekolah sesuai ada di video aja itu,” tuturnya.

ia berharap anak-anaknya bisa menikmati pendidikan seperti anak-anak lain yang sedang semangat belajar.

“Sama seperti orang tua lain, saya merasa iba. Kita punya presiden yang menjanjikan makan siang gratis dan pendidikan gratis, tapi kenyataannya masih ada kejadian seperti ini. Sangat disayangkan,” harapnya.

Fahat menjelaskan bahwa permasalahan ini menjadi viral bukan untuk mencari simpati, melainkan karena ia berharap keadilan bagi anak-anaknya yang harus berhenti sekolah di tengah semangat belajar mereka.

“Kenapa ramai seperti ini? Bukan berarti saya mau cari simpati atau perhatian. Saya cuma ingin anak saya bisa dapat haknya untuk belajar. Semoga ini juga jadi pelajaran supaya tidak ada korban lain seperti anak saya,” tuturnya.

Ketiga anaknya sering bertanya kapan bisa kembali bersekolah. Fahat merasa sedih karena tidak bisa memberi jawaban pasti kepada mereka.

“Anak-anak sering nanya, ‘Kapan bisa sekolah lagi?’ Mereka rindu belajar dan bertemu teman-temannya. Sampai sekarang, mereka masih di rumah,” ujarnya.

Ironisnya, meskipun anak-anaknya berprestasi dengan banyak sertifikat penghargaan, pihak sekolah tetap tidak memberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan mereka.

“Anak-anak saya punya banyak prestasi, dibuktikan dengan sertifikat yang mereka raih. Tapi mereka tidak diperbolehkan mengikuti ujian akhir semester oleh pihak sekolah. Sampai saat ini belum ada respons dari sekolah, padahal saya sudah memohon ke kepala sekolah agar mereka bisa seperti teman-temannya,” kata Fahat.

Rasa malu dan tekanan berat kini menghimpit Muhammad Fahat, ayah dari tiga siswa SD yang dipulangkan paksa karena tunggakan SPP. Ketidakpastian masa depan membayangi anak-anaknya yang kini harus berhenti sekolah.

Fahat mengungkapkan bahwa ia bekerja sebagai buruh harian lepas, terkadang menjadi kuli bangunan, untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Kondisi ekonomi mereka sulit, dan mereka masih menumpang di rumah kontrakan.

“Kalau saya kerja serabutan, kadang jadi kuli bangunan, ya ngaduk apa saja lah. Rumah juga masih ngontrak baru 10 bulan. Harapan saya, anak-anak bisa punya masa depan yang sama seperti anak-anak lain,”pungkasnya.

Hingga berita ini diturunkan, pihak sekolah belum memberikan keterangan resmi terkait pemulangan paksa tiga siswa SD di Pandeglang karena tunggakan SPP. (Asep)