Cerita Pahit Jenderal Dudung Berurai Air Mata Gegara Baki Kue Klepon Ditendang Tamtama

oleh

Kehidupan Jenderal Dudung Abdurachman adalah sebuah kisah tentang keteguhan, ketabahan, dan kerja keras tanpa kenal lelah mengantarkan dirinya pada posisi tertinggi yakni sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) dengan pangkat Jenderal bintang empat.

Namun, sebelum mencapai puncak kariernya, perjalanan hidupnya penuh dengan perjuangan dan pengorbanan yang berat. Dudung, lahir di tengah keluarga sederhana, tidak pernah membayangkan bahwa suatu hari dirinya menjadi pemimpin besar di dunia militer.

Kehidupan keras telah menempanya sejak dini. Saat usianya baru 12 tahun, dunia Dudung berubah drastis. Ayahnya meninggal dunia, meninggalkan sang ibu seorang diri dengan delapan anak untuk dihidupi.

Pada usia yang begitu muda, Dudung harus memikul tanggung jawab yang besar. Kepergian ayahnya menjadi titik balik dalam hidupnya, membangkitkan tekad untuk membantu keluarganya keluar dari jerat kemiskinan.

Ibunya, yang menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga, bekerja keras untuk menghidupi delapan anaknya. Mereka hidup dalam keterbatasan. Bahkan Jenderal Dudung merupakan keturunan Sunan Gunung Jati.

Dikutip dari podcast YouTube di tniad.mil.id berjudul Mengenal Sosok KSAD Jenderal TNI Dudung Abdurachman. Dudung remaja saat itu menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa beratnya perjuangan sang ibu, dan ia merasa terdorong untuk turut membantu.

“Saya berpikir waktu itu bagaimana harus menopang ekonomi, sementara saya itu ya juga harus sekolah,” kata Dudung memberi kuliah umum di Universitas Andalas bertajuk ‘Penguatan Wawasan Kebangsaan dalam Implementasi Merdeka Belajar Kampus Merdeka”.

Maka, Dudung pun mulai menjual kue kelepon dan kerupuk bersama ibunya. Setiap pagi, mereka bangun lebih awal, mempersiapkan dagangan untuk dijual ke pasar-pasar dan kantin-kantin di sekitar wilayah mereka, termasuk kantin Kodam Siliwangi.

Tidak hanya itu, Dudung juga bekerja sebagai loper koran. Setiap pagi, dia berkeliling kota, mengambil tumpukan koran dari agen dan mengantarkannya ke pelanggan. Sering kali, koran yang ia antar berjatuhan di jalan dan menjadi kotor.

Pernah suatu hari, seorang mayor tentara merasa kesal karena menerima koran yang kotor dari Dudung. Dalam kemarahannya, sang mayor menempeleng wajah Dudung. Rasa sakit di wajahnya seolah menjadi simbol beratnya kehidupan yang ia jalani.

Namun hal itu tidak membuat Dudung menyerah. Di lain kesempatan, Dudung pernah mengalami kejadian serupa ketika menjual kue kelepon ke kantin Kodam. Saat tiba di sana, seorang tamtama tiba-tiba menendang baki kue kelepon yang ia bawa hingga berserakan di tanah.

Dudung hanya bisa menahan air matanya, merunduk, dan memunguti kue-kue yang berserakan itu satu per satu. Hatinya dipenuhi dengan kesedihan dan rasa frustrasi. Namun, daripada menyerah pada keadaan, Dudung justru memupuk tekad dalam dirinya.

la berjanji bahwa suatu hari nanti, dirinya akan menjadi seorang tentara yang berintegritas, yang akan menghormati setiap orang, tanpa peduli dari latar belakang apa pun mereka berasal. Tuhan mendengar doa-doanya.

Pada tahun 1985, setelah menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 9 Bandung, Dudung memutuskan untuk mendaftar di Akademi Militer (Akmil). la tahu bahwa jalur ini akan menjadi batu loncatan baginya untuk mengubah nasib keluarganya.

Dengan semangat yang kuat dan tekad yang bulat, ia berhasil lulus seleksi dan diterima di Akmil. Tiga tahun kemudian, pada 1988, Dudung resmi lulus dari Akmil dan mendapatkan pangkat Letnan Dua (Letda).
Awal karir militernya ditandai dengan berbagai penugasan di berbagai daerah di Indonesia, di antaranya sebagai Dandim 0406 Musi Rawas, Dandim 0418 Palembang, dan Aspers Kasdam VII/Wirabuana.

Setiap penugasan diemban dengan penuh tanggung jawab dan disiplin tinggi, hingga karirnya terus menanjak. Namun, perjalanan Dudung di dunia militer tidaklah mudah. Pada tahun 1988, saat baru saja lulus dari Akademi Militer (Akmil).

Dia ditugaskan di Dili, Timor Timur, sebagai Komandan Peleton di Batalyon Infanteri 744-SYB. Saat itu, usianya baru 24 tahun, tetapi diberikan tanggung jawab besar. la memimpin tim khusus bernama ‘Ataka’ dan ‘Casador’.

Dia dengan gagah bertugas mencari dan menindak anggota Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Kapten Edison, komandannya saat itu, melihat kekuatan fisik dan semangat tinggi Dudung, meskipun Dudung masih tergolong muda dan baru di dunia militer.

Pengalaman bertugas di medan yang keras dan penuh bahaya itu semakin mematangkan Dudung sebagai seorang perwira. Setiap misi ia jalani dengan penuh keberanian dan kecermatan. la belajar bagaimana memimpin dan mengambil keputusan di medan perang.

Meski nyawa bisa hilang kapan saja. Semua ini semakin mengasah mentalitas Dudung yang tak pernah gentar menghadapi tantangan. Tahun demi tahun berlalu, dan karier Dudung semakin cemerlang.

Pada tahun 2018, ia dipromosikan menjadi Gubernur Akademi Militer, sebuah posisi yang sangat prestisius dan strategis dalam dunia militer Indonesia. Dua tahun kemudian, ia kembali mendapat kepercayaan besar ketika ditunjuk sebagai Pangdam Jaya pada tahun 2020.

Saat menjabat Pangdam Jaya, Dudung menunjukkan kepemimpinan yang tegas dan berani dalam mengatasi berbagai tantangan di ibu kota negara.

Puncaknya, pada tahun 2021, Presiden Joko Widodo memilih Dudung untuk menduduki posisi tertinggi di Angkatan Darat, yaitu sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), menggantikan Jenderal Andika Perkasa yang telah menyelesaikan masa tugasnya.

Dengan jabatan tersebut, Dudung resmi menyandang pangkat Jenderal bintang empat, suatu prestasi yang luar biasa bagi seorang yang pernah merasakan pahitnya hidup sebagai loper koran dan penjual kue kelepon.

Jenderal Dudung pernah berdiri tegak sebagai salah satu pemimpin tertinggi di TNI, dihormatı banyak prajurit dan disegani karena keteguhan hatinya.

Kisah hidupnya menjadi inspirasi bagi banyak orang, membuktikan bahwa dengan tekad, kerja keras, dan keberanian menghadapi tantangan hidup, seseorang dapat mengatasi segala rintangan dan mencapai puncak keberhasilan.

Dari seorang anak miskin yang harus membantu ibunya dengan berjualan kue, hingga menjadi seorang Jenderal bintang empat, perjalanan hidup Dudung Abdurachman adalah bukti nyata bahwa nasib bisa diubah, dan mimpi bisa menjadi kenyataan jika kita tak menyerah pada keadaan.**