M. Ishom El Saha
Pengasuh Pondok Pesantren Qod Atta Kota Serang
Alkisah, setelah perjanjian Hudaibiyah pada tahun ke-8 Hijriah paman Rasulullah yang bernama Abbas bin Abdul Muthalib akhirnya mau berhijrah ke kota Madinah. Nabi Muhammad Saw sangat gembira dengan kepindahan pamannya itu sesudah bertahun-tahun memilih menetap di Thaif, luar kota Madinah dan lebih dekat kota Mekkah.
Di kota Madinah, Nabi Muhammad Saw menghibahkan untuk pamannya itu berupa sebidang tanah yang berdekatan dengan akses jalan menuju Masjid Nabawi. Dalam pengerjaan pembangunan rumah Abbas bin Abdul Muthalib juga dibantu oleh Rasulullah Saw. Beliau sendiri yang membuat dan memasangkan talang air di rumah pamannya yang sudah jadi berdiri.
Talang air yang dibuat Rasulullah Saw agak sedikit memakan tempat yang langsung mengenai jalan apabila ada air tumpah. Artinya talang itu melebihi badan bangunan rumah Abbas bin Abdul Muthalib dan sedikit menjulur ke luar di atas jalan.
Dengan alasan ini pula para ulama mengambil kesimpulan membangun bagian rumah, seperti loteng tinggi yang melewati batas tanah miliknya dan masuk bagian fasilitas umum dibolehkan, dengan catatan tidak menggangu pengguna jalan. Tapi kalau mengganggu maka hukumnya tidak boleh.
Di dalam kebiasaan masyarakat Arab terdahulu, bangunan rumah bertingkat yang dibuat sangat mepet jalan bertujuan untuk membuat teduh lingkungan sekitarnya. Cahaya matahari tidak dapat menembus permukaan jalan karena terhalang bangunan di sekitar kanan-kirinya. Makanya dibolehkan dalam konteks tata kota Arab, tapi jangan dipraktekkan di negeri kita karena akan dilarang pemerintah.
Talang air yang dipasang Rasulullah di rumah Abbas bin Abdul Muthalib rupanya membawa masalah di kemudian hari. Tepatnya pada masa Umar bin Khattab menjadi Khalifah atau pemimpin umat Islam. Pada siang hari Jumat seperti umumnya umat Islam Khalifah Umar bin Khattab bergegas berangkat ke Masjid Nabawi.
Sebagai Khalifah, selain memimpin umat Islam beliau juga memiliki tugas menjadi khatib dan imam salat Jumat. Dengan mengenakan pakaian yang rapi beliau berjalan menelusuri jalan, tapi belum sampai ke masjid, beliau menghadapi masalah. Baju yang beliau kenakan tersiram air bercampur darah yang mengalir dari talang rumah milik Abbas bin Abdul Muthalib, yang tak lain adalah hasil pekerjaan pemasangan talang air oleh tangan Nabi.
Rupanya paman Rasulullah Saw itu baru saja menyembelih dua ekor kelinci di atas loteng rumah. Bekas air siramannya dialirkan lewat talang dan tumpah di jalan menciprati baju Umar b. Khattab.
Sang khalifah tidak marah karena kejadian itu. Beliau memilih putar balik ke rumahnya untuk berganti baju dan melanjutkan perjalanan kembali ke Masjid Nabawi untuk memimpin Salat Jumat. Kemudian selesai salat, Umar bin Khattab menyambangi kediaman Abbas bin Abdul Muthalib dan meminta supaya talang air itu dicopot.
Dua sahabat Nabi itu saling berargumentasi seputar masalah talang air yang menjulur ke jalan. Abbas bin Abdul Muthalib berkata: bahwa yang memasang talang air itu adalah Rasulullah Saw sendiri sewaktu beliau masih hidup. Mendengar alasan itu Umar bin Khattab akhirnya mengalah dan berkata: “Kalau nyatanya talang air itu yang membuat dan memasang Rasulullah Saw, maka wahai sahabatku! Mari, naiklah ke atas punggungku dan betulkan posisi talang air itu!”
Abbas bin Abdul Muthalib akhirnya menaiki punggung sang khalifah dan membetulkan posisinya serta tidak mencopotnya.
Ada pelajaran menarik yang dapat kita tarik dari kisah ini. Pertama, sebagai umat yang cinta kepada Rasul-nya, dalam hal ini Umar bin Khattab yang dikenal sebagai “bapaknya ahlu alra’y” tetap patuh mengikuti apa yang sudah dilakukan Rasulullah Saw. Kedua, sebagai pemimpin yang menggantikan pemimpin sebelumnya, Umar bin Khattab tetap melanjutkan dan tidak merubah apa yang dibuat pemimpin sebelum dirinya. Ketiga, sebagai anggota masyarakat, Umar bin Khattab mendahulukan bermusyawarah dengan sesama anggota masyarakat dan tidak memaksakan kehendaknya sendiri.(red/rls)